tirto.id – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengakui bahwa terdapat kesalahan konteks dalam penyampaian penerapan denda damai pada tindak pidana korupsi (Tipikor). Dia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak bermaksud untuk serta-merta membebaskan pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, melalui mekanisme tersebut. “Ini kesalahan konteks ya. Tapi, sekali lagi yang saya katakan soal denda damai itu, itu ada aturannya. Tetapi, apakah sudah diimplementasikan? Sampai sekarang belum,” kata Supratman dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Jumat (27/12/2024). Supratman menegaskan bahwa mekanisme denda damai yang tertuang dalam Pasal 35 Ayat 1 Huruf k Undang-Undang Kejaksaan Agung belum bisa dijalankan sebab masih menunggu peraturan perundang-undangannya. “Tetapi, itu hanya terkait tindak pidana ekonomi. Yang saya maksudkan kemarin itu karena sama-sama merugikan perekonomian negara dan juga kemungkinan keuangan negara, itu boleh diterapkan,” ujarnya. Namun, Supratman mengatakan bahwa permasalahan tentang tindak pidana apa yang dapat diselesaikan melalui denda damai telah selesai. Dia menegaskan bahwa tindak pidana ekonomilah yang dapat diterapkan denda damai. Selain menjelaskan soal kesalahan konteks terkait denda damai untuk memberi pengampunan pada pelaku tindak pidana, dia juga menjelaskan soal amnesti, grasi, dan abolisi yang menjadi kewenangan Presiden RI dan tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945. Dia juga mengatakan bahwa sistem hukum Indonesia memang memungkinkan adanya pengampunan terhadap pelaku tindak pidana apa pun. Namun, tidak berarti pemerintah pasti memberikan pengampunan tersebut. “Yang harus dimengerti oleh kita semua adalah pemerintah tidak bermaksud menggunakan amnesti, grasi, dan abolisi untuk sekedar membebaskan para pelaku tindak pidana. Sama sekali tidak,” tuturnya. Selain itu, Supratman menegaskan bahwa denda damai merupakan jalur pengampunan yang bisa ditempuh selain melalui Presiden RI. Denda damai adalah penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung. “Sebagai perbandingan, kami memberikan contoh bahwa memang Undang-Undang yang ada di Indonesia mengatur pemberian pengampunan. Tetapi, sekali lagi, tidak serta-merta dilakukan untuk membebaskan pelaku tindak pidana, apalagi koruptor,” pungkasnya.Sebelumnya, Supratman mengatakan selain pengampunan dari Presiden RI, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai. Menurutnya, kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung lantaran Undang-Undang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut. “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan [memberi pengampunan kepada koruptor] karena Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (24/12/2024).Namun, pernyataan Menkum itu dibantah oleh pihak Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung menyampaikan bahwa denda damai ini hanya bisa diberikan kepada pelaku tindak pidana ekonomi yang menyebabkan kerugian perekonomian negara.
tirto.id – HukumReporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fadrik Aziz Firdausi