FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, menyoroti Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang didesak oleh sejumlah pendukung Prabowo Subianto untuk diganti dari posisinya.
Menurut Said Didu, Sri Mulyani harus bertanggung jawab atas semua masalah keuangan yang terjadi saat ini.
“Semua masalah keuangan yang terjadi saat ini adalah tanggung jawab beliau,” ujar Said Didu dalam keterangannya di aplikasi X @msaid_didu (21/11/2024).
Mengingat masa jabatannya sebagai Menkeu telah berlangsung selama dua dekade.
“Ibu Sri Mulyani sudah jadi Menkeu selama 20 tahun,” tandasnya.
Desakan terhadap Sri Mulyani untuk mundur atau diganti semakin menguat setelah muncul berbagai kritik terhadap kondisi ekonomi Indonesia.
Termasuk masalah utang negara, defisit anggaran, dan kebijakan fiskal yang dianggap kontroversial.
Beberapa pihak menilai bahwa kinerja Sri Mulyani tidak lagi sejalan dengan kebutuhan negara saat ini.
Salah satu pendukung Prabowo Subianto, Azwar Siregar, melontarkan kritik tajam terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Ia menilai bahwa kebijakan Sri Mulyani dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cenderung membebani rakyat dengan pajak, alih-alih memberantas kebocoran anggaran.
Azwar mengaku prihatin dengan kondisi ini dan menyebut Sri Mulyani sebagai figur yang kapitalis dan menggunakan pendekatan yang dinilainya terlalu sederhana.
“Dia itu kapitalis murni. Lintah. Kompeni kalau zaman dahulu. Cara berpikirnya sangat sederhana: untuk menjaga stabilitas keuangan negara, rakyat terus dipalak lewat pajak,” ujar Azwar.
Ia mengkritik kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang dinilainya mencerminkan karakter “Ratu Palak” dari Sri Mulyani.
Menurut Azwar, mayoritas pendapatan negara sekitar 70 persen bersumber dari pajak. Ketergantungan ini dianggapnya menjadi dalih untuk menaikkan pajak setiap kali terjadi defisit anggaran.
Azwar juga menyoroti pernyataan Prabowo Subianto yang pernah mengungkapkan bahwa kebocoran anggaran negara mencapai Rp1.000 triliun per tahun.
Ia menganggap bahwa langkah pertama yang seharusnya diambil adalah menghentikan kebocoran tersebut, bukan menambah beban rakyat.
“Defisit APBN kita ‘cuma’ Rp616 triliun. Kalau kebocoran Rp1.000 triliun bisa dihentikan, masih ada surplus hampir Rp400 triliun. Tidak perlu lagi memalak rakyat dengan menaikkan PPN,” tegasnya.
(Muhsin/fajar)