Fungsi rutan dan lapas sebagai tempat penjeraan para narapidana nyatanya tidak berjalan secara semestinya. Kenyataannya, rutan dan lapas di Indonesia menjadi tempat persemaian para penjahat untuk membuat jaringan kejahatan, baik itu yang dilakukan oleh para narapidana dan juga dilakukan oleh para sipir penjaga rutan dan lapas.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]H[/dropcap]akim Pengadilan Negeri Jakarta Utara akhirnya memvonis dua tahun penjara kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ahok dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama karena pernyataan soal Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan jaksa yang meminta hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.
“Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama,” kata hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto membacakan amar putusan dalam sidang Ahok di auditorium Kementan, Jl RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (9/5).
Majelis menyatakan Ahok terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.
Setelah sidang, tanpa banyak bekomentar Ahok dengan pengawalan ketat langsung dibawa dengan menggunakan mobil polisi menuju Rutan Cipinang. Menurut Karutan Cipinang, Asep Sutandar memastikan tidak ada fasilitas mewah untuk Ahok. Ahok akan dicampur di sel yang sama dengan tahanan lainnya.
Rutan Cipinang yang menjadi tempat Ahok menghabiskan 2 tahun hidupnya ini mempunyai kapasitas ruangan yang tidak layak, Asep Sutandar mengatakan jumlah penghuni di Rutan Cipinang kurang lebih sebanyak 3.400 orang padahal rutan tersebut hanya mampu menampung sekitar 1.136 orang saja. Untuk mengawasi 3.400 orang narapidana, Rutan Cipinang hanya mempunyai 22 petugas penjaga. Jumlah yang sangat sedikit untuk menjaga orang sebanyak itu.
Permasalahan kelebihan kapasitas di rutan dan lapas ini sudah menjadi rahasia umum yang hingga kini belum ada pemecahannya. Masalah tersebut juga yang menjadi salah satu faktor dalam kasus kaburnya para narapidana dari Rumah Tahanan Sialang Bungkuk, Kecamatan Tenaya Raya, Pekanbaru, Riau pada Jumat (5/5) sebelumnya.Ada tiga hal yang membuat narapidana di Pekanbaru ini kabur, yaitu kondisi rutan yang over kapasitas, praktek pungli para sipir mulai dari harus memberikan uang jika ingin mendapatkan makanan, air, dan listrik hingga harus ada biaya tambahan jika ada keluarga ingin menjenguk.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perwakilan Riau, Ferdinan Siagian mengatakan bahwa seluruh rumah tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Riau memang diketahui kelebihan kapasitas dan mempunyai fasilitas terburuk di Indonesia.
“Provinsi Riau juga memiliki salah satu rutan dengan kelebihan beban terburuk, yaitu Rutan Bagan Siapi-api, yang kelebihan bebannya mencapai 700 persen dari kapasitas hunian,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi Widodod Eddyono, melalui keterangan tertulisnya pada Sabtu (6/5).
Secara keseluruhan, kondisi rutan dan lapas di Indonesia memang tidak sesuai dengan fungsinya. Selain fasilitas yang tidak layak, fungsi rutan dan lapas sebagai tempat penjeraan para narapidana nyatanya tidak berjalan secara semestinya. Karena kenyataannya, rutan dan lapas di Indonesia malah menjadi tempat persemaian para penjahat untuk membuat jaringan kejahatan, baik itu yang dilakukan oleh para narapidana juga dilakukan para sipir penjaga rutan dan lapas.
Bagaimana ini bisa terjadi? Mari kita telisik persoalan tersebut.
Ironi Lapas Indonesia, Mulai Dari Peredaran Narkoba Hingga Praktek Pungli
Berdasarkan pasal 2 Undang-undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan diterapkan untuk membentuk warga binaan (narapidana) sebagai manusia seutuhnya. Kenyataan rutan dan lapas di Indonesia tidak sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk membuat jera para narapidana.
Penjara seakan-akan menjadi sekolah tinggi kejahatan bagi pelanggar hukum. Karena pada dasarnya, pemenjaraan cenderung mengakibatkan dehumanisasi, serta kelemahan-kelamahan dalam manajemen penjara membuat pelanggar hukum tidak menjadi lebih baik daripada sebelum mereka dipenjarakan, bahkan para narapidana dapat menjadi lebih berperilaku kriminal. Jaringan kejahatan di dalam rutan dan lapas seakan berjalan tanpa hambatan.
Untuk kejahatan narkoba, disinyalir ada sekitar 39 lembaga pemasyarakatan yang berperan mengendalikan bisnis narkoba di Indonesia. Bahkan Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal, Budi Waseso mengatakan, pihaknya menemukan 72 jaringan narkoba internasional yang bergerak di Indonesia dan memanfaatkan para narapidana di 22 lembaga pemasyarakatan.
Deputi Pemberantasan Narkoba BNN, Inspektur Jenderal Arman Depari juga mengungkapkan, bahwa hampir seluruh lapas dan rutan di Indonesia terindikasi sebagai tempat transaksi narkoba.
“Praktik bisnis gelap narkoba dari balik penjara banyak terjadi di lembaga pemasyarakatan di kota-kota besar, yaitu lembaga pemasyarakatan Cipinang dan lembaga pemasyarakatan Wanita Pondok Bambu di Jakarta, lembaga pemasyarakatan Kerobokan di Bali, lembaga pemasyarakatan Medaeng di Surabaya, dan lembaga pemasyarakatan Pemuda Tangerang,” kata Arman.
Selain peredaran narkoba, ada juga praktek pungutan liar (pungli) yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan. Seperti kasus napi yang kabur dari Rutan Sialang Bungkuk, Pekanbaru, salah satu alasan para narapidana memberontak adalah akibat praktek pungli yang mencekik para narapidana.
Orang tua salah satu narapidana di Rutan Sialang Bungkuk membeberkan praktek pungli tersebut. Saat ia ingin memindahkan anaknya ke ruang tahanan yang lebih layak ia diharuskan membayar sebesar Rp. 7 juta kepada sipir.
Tidak hanya itu, untuk pihak keluarga yang ingin membesuk narapidana setiap melewati satu pintu yang dikunci wajib menyetor sebungkus rokok kepada petugas dan keluarga juga dikenakan biaya Rp. 50 ribu untuk setiap kali kunjungan, jika durasi pertemuan ingin diperpanjang, para pembesuk ini diharuskan membayar uang tambahan mulai dari Rp. 20 ribu – Rp. 50 ribu.
Permasalahan lainnya adalah buruknya fasilitas yang ada di rutan dan lapas. Mulai dari permasalahan air bersih hingga tempat untuk istirahat. Karena ruang tahanan yang over kapasitas sehingga untuk tidur saja para narapidana ini harus rela berdesakan, bahkan ada juga yang tidur di WC akibat tidak ada ruang yang cukup untuk dirinya istirahat.
Buruknya Pemerintah Dalam Mengelola Lapas Dan Rutan
Buruknya pengelolaan lapas dan rutan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, khusunya bagi Menhukam, Yasona Laoly. Selama dirinya menjabat ternyata permasalahan di rutan dan lapas tidak juga berhenti, malah semakin memprihatinkan.
Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo meminta Kementerian Hukum dan HAM tidak terus-terusan mengeluh soal kelebihan kapasitas setiap ada kerusuhan di lapas dan rutan. Menurut Bambang, keluhan yang dimunculkan Kemenkumham selalu sama, yaitu faktor kelebihan kapasitas di lapas dan rutan.
Jika dicermati, faktor kelebihan penghuni lapas dan rutan merupakan masalah lama yang sudah menjadi catatan publik, jauh sebelum peristiwa rusuh di Lapas Banceuy, Bandung serta peristiwa rusuh Lapas Kerobokan, Bali pada 2016.
Semenjak Yasonna Laoly menjabat sebagai Menkumham, banyak catatan kasus tahanan yang kabur hingga pengelolaan lapas dan rutan yang jauh dibawah standar. Jumlah ini tentu belum mewakili seluruh kasus tahanan kabur yang ada di bawah naungan kepolisian dan beberapa daerah lain yang mungkin tak terungkap di media.
Menanggapi hal tersebut, anggota DPR Komisi III Sarifuddin Sudding meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Menurutnya, Yasonna Laoly tidak mengambil langkah kongkret dalam mengatasi masalah di lapas dan rutan.
Komisi III DPR, selalu mengkritisi persoalan lapas jika mereka rapat kerja dengan Yasonna. Mereka selalu menyampaikan agar penanganan warga binaan yang ada di lapas betul-betul dilakukan secara profesional oleh para petugas lapas.
“Dengan rentetan permasalahan di lapas, ya saya kira ini bisa menjadi evaluasi dilakukan oleh presiden terhadap kinerja Menkumham” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/5).
Jika kiranya Pemerintah tidak bisa mengelola lapas dan rutan, ada baiknya juga jika pengelolaan lapas ini diserahkan ke pihak swasta. Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar pun berpendapat bahwa pemerintah perlu membuka peran serta pihak swasta dalam pengelolaan lapas seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara di Eropa dan Amerika.
Erwin juga menyebutkan, negara seharusnya berani untuk mengakui bahwa mereka saat ini tidak punya kapasitas untuk mengelola lapas dan rutan, baik dari sumber daya manusia hingga anggaran dalam melakukan pembinaan. Jadi, masuknya pihak swasta dalam pengelolaan lapas bisa memberikan nilai tambah ekonomi dan memberikan keuntungan untuk pengelolaan lapas dan pembinaan para narapidana.
Amerika Serikat merupakan negara pertama yang punya penjara swasta. Penjara ini pertama kali dibuka pada 1984 di Houston, Texas. Corrections Corporation of America (CCA) adalah pengelola terbesar dari penjara-penjara swasta di Amerika Serikat. CCA didirikan Thomas W Beasley, Robert Crants dan Terrell Don Hutto. Beasley pernah menjadi Ketua Partai Republik di Negara Bagian Tennessee.
Meski dikelola oleh swasta, lapas harus memenuhi standar internasional. Idealnya, sebuah penjara haruslah sesuai dengan Aturan Minimum Standar tentang Penanganan Tahanan yang diadopsi oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa yang Pertama tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Pelaku Kejahatan, Jenewa, 1955. Aturan itu disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial melalui Resolusi 663 C (XXIV) tertanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tertanggal 13 Mei 1977.
Jika lapas dan rutan dikelola swasta, lalu apa peran pemerintah? Pemerintah tetap berperan dalam mengawasi penjara swasta. Pemerintah juga harus tetap memantau keselamatan para napi. Jika ada napi kabur, dianiaya, atau bahkan meninggal, Pemerintah tetap sebagai pihak yang bertanggung jawab dan tidak bergantung seluruhnya pada pihak swasta. (A15)