Tepat hari ini, Timor Timur – yang kini disebut Timor Leste – resmi menjadi sebuah negara. Perjalanan panjang yang dipenuhi darah mengiringi salah satu negara yang berbatasan darat langsung dengan Indonesia ini untuk bisa menjadi sebuah negara merdeka.
PinterPolitik.com
“Freedom goes hand-in-hand with mutual respect” – Kay Rala Xanana Gusmao
[dropcap size=big]S[/dropcap]udah 15 tahun Timor Timur atau yang saat ini bernama Timor Leste, memisahkan diri dari Indonesia. Tanggal 20 Mei 2002 merupakan hari resminya wilayah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menjadi sebuah negara berdaulat penuh. Sebagai catatan, Timor Leste adalah negara baru pertama yang lahir di abad ke-21. Perayaan kemerdekaan tersebut juga dihadiri oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, serta Presiden ke-5 Republik Indonesia saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Negara yang bernama resmi Democratic Republic of Timor-Leste ini mulanya merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia sejak tahun 1975 hingga 1999. Timor Leste akhirnya merdeka setelah pemerintah Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Presiden ke-3 RI, BJ Habibie menyetujui hasil referendum yang dilaksanakan di provinsi bekas jajahan Portugis ini.
Keputusan ini juga secara resmi mengakhiri konflik bersenjata yang terjadi selama hampir 24 tahun antara militer Indonesia dengan Tentara Pembebasan Timor Timur atau yang dikenal dengan sebutan Falintil (Forças Armadas da Libertação Nacional de Timor-Leste). Konflik ini diperkirakan mendatangkan korban antara 100.000 sampai 180.000 jiwa warga Timor Timur, dan sekitar 3.000 jiwa dari kubu militer Indonesia.
Konflik telah berakhir, Timor Leste pun telah merdeka, dan saat ini hubungan kedua negara juga sudah aman dan damai. Lalu, bagaimana awal mula konflik ini dapat terjadi?
Anggota Falintil dalam salah satu persiapan pertempuran (Foto: istimewa)
Timor Timur: Dari Portugis Hingga Indonesia
Berbeda dengan hampir seluruh wilayah di Indonesia yang dikuasai oleh Belanda pada zaman penjajahan, wilayah Timor Timur dikuasai oleh bangsa Portugis. Hal inilah yang menyebabkan kekuasaan Portugis atas wilayah Timor Timur masih terjadi bahkan hingga saat Indonesia merdeka.
Bangsa Portugis pertama kali datang ke wilayah nusantara – termasuk juga ke Timor Timur – pada awal abad ke 16. Saat itu Portugis dan Spanyol merupakan dua negara awal yang saling berebut negara jajahan di seluruh dunia dengan misi 3 G (gospel, gold, dan glory).Bangsa Portugis melacak jejak rempah-rempah akhirnya sampai ke Indonesia. Namun, kekuasaan Portugis di Indonesia akhirnya harus berakhir ketika pengaruhnya mulai menurun seiring menguatnya Spanyol, Belanda dan Inggris di Eropa. Setelah Cornelis de Houtman memimpin bangsa Belanda datang ke Indonesia, kekuasaan Portugis terdesak dan sisa-sisa kekuasaannya bertahan di Timor Timur.
Pada tahun 1749, Belanda dan Portugis membagi pulau Timor menjadi dua dan Portugis mendapat Pulau Timor bagian Timur. Kekuasaan Portugis tetap bertahan hampir empat setengah abad lamanya di Timor Timur (1522-1975). Saat Jepang melakukan invasi besar-besaran ke Asia Tenggara, Timor Timur sempat jatuh ke tangan Jepang. Namun, setelah Jepang kalah Perang Dunia II, Portugis kembali menguasai wilayah ini hingga tahun 1974 ketika Revolusi Anyelir terjadi di Portugal. Perubahan kepemimpinan di Portugal pada tahun tersebut menyebabkan terjadinya kekosongan kekuasaan di Timor Timur.
Kekosongan kekuasaan di Timor Timur ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Militer Indonesia masuk ke Timur Timor dalam operasi yang dikenal dengan nama Operasi Seroja. Alasan awal yang dipakai adalah untuk menumpas gerakan komunisme. Belakangan baru diketahui bahwa Operasi Seroja ini adalah upaya Soeharto untuk memasukkan Timor Timur menjadi provinsi ke-27.
Pasukan terjun payung Indonesia di langit Timor Leste (Foto: timorlestemerdeka)
Operasi ini akhirnya menandai bergabungnya Timor Timur ke Indonesia, sekaligus menjadi awal konflik antara militer Indonesia melawan para pejuang kemerdekaan Timor Timur. Maka, dimulailah 24 tahun periode yang oleh media-media internasional disebut sebagai ‘invasi Indonesia atas Timor Timur’. Konflik ini mendatangkan korban dari kedua pihak. Militer Indonesia juga dituduh melakukan pelanggaran HAM berat selama periode ini.
Dari Perang Saudara Hingga Santa Cruz
Di internal masyarakat Timor Timur sendiri juga terjadi konflik antara partai-partai lokal yang menginginkan kemerdekaan melawan partai yang menginginkan integrasi ke Indonesia. Partai Fretelin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) adalah faksi yang menginginkan kemerdekaan. Sayap paramiliter partai inilah yang menjadi cikal bakal tentara Falintil, yang saat ini menjadi tentara nasional Timor Leste. Fretelin adalah partai sayap kiri yang berjuang untuk kemerdekaan Timor Timur dari segala bentuk penjajahan. Salah satu tokoh Fretelin yang terkenal adalah Kay Rala Xanana Gusmao yang kemudian menjadi presiden pertama Timor Timur.
Selain Fretelin, partai lain seperti UDT (União Democrática Timorense), awalnya ingin ikut serta memerdekakan Timor Timur. Namun, partai sayap kanan ini berbalik ingin bergabung ke Indonesia setelah ditawari untuk memimpin Timor Timur oleh BAKIN (Badan Koorndinasi Intelijen Negara) – sekarang BIN. Pemimpin Senior UDT, Mario Viegas Carrascalão diangkat sebagai Gubernur Timor Timur.
Mario Viegas Carrascalão (foto: jndiario.com)
Perbedaan ini sempat melahirkan perang saudara antara UDT dan Fretelin. Bahkan, UDT bersama partai lain, APODETI (Associação Popular Democratica Timorense) menandatangani petisi pada tahun 1975 untuk meminta pemerintah Indonesia menganeksasi Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia. Faksi-faksi yang berbeda ini kemudian melahirkan dua kelompok milisi, satu pihak ingin memerdekakan Timor Timur, pihak lain ingin Timor Timur bergabung ke Indonesia. Peran militer Indonesia pun sangat besar mendukung kelompok milisi pro-Indonesia.
Dari sekian banyak tragedi di Timor Timur, salah satu tragedi yang paling menyita perhatian adalah peristiwa Santa Cruz yang terjadi pada 12 November 1991. Saat itu militer Indonesia menembaki warga Timor Timur pro kemerdekaan di pemakaman Santa Cruz, Kota Dili. Korban tewas diperkirakan mencapai 270 orang. Beberapa jurnalis asing yang meliput kejadian itu juga ikut menjadi korban dalam peristiwa tersebut, di antaranya Allan Nairn dan Amy Goodman yang dipukul dengan senjata oleh militer Indonesia.Sejak saat itu, berkat publikasi laporan para jurnalis dan pemberitaan media-media asing, perjuangan kemerdekaan Timor Timur mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Beberapa organisasi seperti East Timor Action Network (ETAN) didirikan untuk menyuarakan pelanggaran HAM dan kekerasan yang terjadi di wilayah Timor Timur.
Setelah kejatuhan pemerintahan Soeharto, pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh BJ Habibie menyetujui pelaksanaan referendum. Hasilnya, mayoritas (78,5 %) masyarakat Timor Timur menginginkan kemerdekaan, sementara sisanya ingin bergabung dengan Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga turun tangan dalam konflik ini.
Pada tahun 1999, PBB membentuk UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor) sebagai pemerintahan transisi untuk menyiapkan kemerdekaan Timor Timur. Tentara perdamaian INTERFET (International Force for East Timor) juga dibentuk dan dipimpin oleh Australia untuk mengamankan wilayah Timor Timur.
Eurico Guterres (foto: sicnoticias.sapo.pt)
Walaupun demikian, beberapa milisi pro-Indonesia masih terus berjuang untuk menyatukan Timor Timur ke Indonesia dipimpin oleh Eurico Barros Gomes Guterres, seorang milisi Timor Timur yang direkrut oleh militer Indonesia. Eurico Guterres dianggap sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab dalam berbagai pembantaian pasca referendum Timor Timur.
Pada 20 Mei 2002 Timor Timur memang resmi menjadi negara sendiri. Namun, bukan berarti setelah merdeka, negara ini aman dan damai. Berbagai konflik masih terus terjadi. Salah satunya terjadi pada 11 Februari 2008, ketika kelompok pemberontak yang dipimpin Mayor Alfredo Reinado menyerbu kediaman Presiden Ramos Horta.
Sosok Mayor Alfredo Reinado di kaos pemuda di Dili (foto: wn.com)
Aksi ini merupakan bagian dari protes Mayor Alfredo bersama 1.400-an tentara yang dipecat dari keanggotan tentara nasional yang terjadi sejak tahun 2006. Dalam penembakan tersebut Ramos Horta terluka parah, sementara Mayor Alfredo Reinado tewas. Hingga saat ini banyak pemuda di Dili yang masih mengidolakan Mayor Alfredo Reinado.
Berikut ini adalah infografis perjalanan konflik di Timor Timur.
Timor Timur Saat Ini
Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Timor Timur belum sepenuhnya mapan dari berbagai sisi pembangunan. Apalagi, hampir setengah masa kemerdekaannya juga masih diwarnai oleh konflik. Dari sisi perekonomian, Timor Leste masih tertinggal. Tingkat buta huruf masih mencapai 50 % dan angka pengangguran juga masih tinggi.
Pembangunan ekonomi juga belum berjalan dengan baik. Dari sisi politik dan keamanan, Timor Timur juga masih harus menyelesaikan berbagai persoalan yang berhubungan dengan kedaulatan negaranya. Masih terdapat beberapa titik batas darat di Pulau Timor yang masih belum diselesaikan dengan pemerintah Indonesia, termasuk juga tentang Distrik Oekusi yang berada di wilayah Indonesia.
Di wilayah laut, Timor Timur masih memiliki persoalan batas laut dengan Australia. Bahkan, beberapa aktivis di Timor Leste, seperti Ferdi Tanoni – yang menulis buku tentang kepentingan-kepentingan yang ada dalam konflik Timor Timur, termasuk dugaan silang kepentingan antara Indonesia dengan Australia – saat ini sedang berjuang menuntut garis batas yang jelas di wilayah perairan Laut Timor. Selama beberapa tahun terakhir, hampir 90 % kekayaan laut Timor Timur dikeruk oleh Australia.
Dua aktivis di Timor Timur memegang spanduk protes terhadap aktivitas Australia mengeksploitasi sumber minyak di Timor Timur (Foto: laohamutuk.org)
Beberapa selentingan juga mulai muncul di antara para aktivis di Timor Timur sendiri, misalnya terkait bagaimana negara-negara seperti Australia mengeruk kekayaan alam di negara tersebut. Isu tersebut sempat memanas dan melahirkan kampanye di media untuk keadilan pengelolaan sumber daya alam di Timor Timur. Organisasi seperti ETAN ikut mengkampanyekan protes yang diselenggarakan di banyak negara tersebut.
Kampanye pembebasan Timor Timur dari penjajahan ‘baru’ melalui eksploitasi ekonomi ini menjadi wajah baru kehidupan masyarakat di Timor Timur. Celah Timor yang dipercaya memiliki kandungan minyak yang besar saat ini masih menjadi sengketa antara Timor Timur dan Australia.
Saat ini, setelah berpisah, Indonesia masih memiliki posisi yang penting bagi Timor Timur. Hubungan dagang dan pembangunan juga masih terjadi di antara kedua negara. BUMN-BUMN Indonesia juga menjadi mitra pembangunan infrastruktur di Timor Timur. Hubungan kedua negara dibangun atas rasa saling menghormati – seperti kata Xanana Gusmao di awal tulisan.
Indonesia juga dianggap punya peranan penting dalam penyelesaian konflik di celah Timor. Masyarakat Timor Timur mengalami konflik dalam dimensi yang baru setelah mengalami bagaimana rasanya merdeka. Indonesia sudah melewati masa itu, walaupun mungkin saat ini masih sering terjebak di dalamnya. Akankah kedua negara bisa terus berhubungan dengan baik dan melupakan memori kelam di masa lalu? Mungkin semuanya bisa dimulai dari ucapan ‘Selamat merayakan hari kemerdekaan untuk teman dan saudara di Timor Timur’. (S13)