Jakarta, Gatra.com – Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Penggiat Inklusi Disabilitas, Bahrul Fuad, mengatakan bahwa posisi orang dengan masalah kejiwaan perlu dilihat secara objektif. Dibandingkan dengan pendekatan moral atau religius, pendekatan objektif perlu diterapkan agar individu dilihat sebagai sosok yang harus dipenuhi haknya.
“Orang dengan masalah kejiwaan dilihat sebagai bentuk kutukan karena pendekatannya menggunakan moral model atau religius model. Kalau dilihat secara objektif, fakta, ilmiah, sebenarnya orang dengan gangguan jiwa memiliki hak yang melekat sehingga harus dipenuhi,” ujarnya dalam acara yang digelar oleh Emotional Health For All dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia, Senin (10/10).
Baca juga: Jaga Kesehatan Mental Anak Saat Pandemi, Begini Caranya
Bahrul menerangkan bahwa orang dengan gangguan jiwa seringkali mengalami diskriminasi. Dalam konteks agama, banyak yang dilihat tidak berhak mendapatkan hak waris, karena dianggap tidak cakap mengelola harta benda. Selain itu, orang dengan gangguan jiwa kerap dipandang tidak cakap untuk membangun keluarga.
“Dalam hal tertentu juga dilihat tidak cakap memegang peranan penting sosial dalam masyarakat. Akibatnya, terjadi diskriminasi,” ucapnya.
Padahal, Bahrul mengatakam bahwa bila seseorang dalam kondisi membaik, maka dia bisa mengelola harta benda sehingga berhak juga menerima warisan. Orang dengan gangguan jiwa juga bisa bekerja dan bersekolah, ketika ditangani dengan tepat. Hal inilah yang harus didorong demi memutus stigma buruk yang ada di masyarakat.
Baca juga: Survei: Sebanyak 93% Mencari Camilan untuk Kesehatan Mental
Misalnya, terdapat stigma bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa berarti dia melakukan dosa besar, dibentuk oleh Tuhan. Padahal, Bahrul menjelaskan bahwa gangguan jiwa banyak terjadi karena faktor eksternal, bukan kutukan atau bentukan asal.
Penanganan yang tepat harus diberikan kepada orang dengan gangguan jiwa. Ketika tidak ditangani, maka bisa membuat kondisi seseorang memburuk dan akan merugikan dirinya sendiri.
Baca juga: Mahasiswa Fisipol Bunuh Diri di Hotel Porta, UGM Serahkan Penyelidikan ke Polisi
“Proses jika tidak segera ditangani maka akan terjadi semacam ketidakpercayaan yang semakin mendalam. Bisa jadi, seseorang merasa sendiri dan tidak sedikit yang mencoba melakukan bunuh diri,” paparnya.
Menurutnya, perubahan cara pandang diperlukan. Hal ini berarti bahwa pendekatan agama harus ditambah dengan pendekatan ilmiah agar tidak hanya jadi mitos. Cara pandang masyarakat selama ini yang melihat orang dengan gangguan jiwa menggunakan moral model, perlu dilengkapi dengan pendekatan objektif.