tirto.id – Usulan pemilu terpisah disampaikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI kepada pemerintah. Hal ini langsung diutarakan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja kepada Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka. Bagja mengusulkan pemilu nasional dan pemilu lokal atau daerah dilaksanakan terpisah dalam tahun yang berbeda. Wacana ini didasarkan dari pengalaman para Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan yang kelelahan karena harus mengurus dua agenda pemilu dalam waktu cukup dekat.Tahun ini pemilu nasional dan pemilu daerah serentak memang dilangsungkan dalam tahun yang sama. Pemilu nasional sudah dilakukan pada Februari lalu, sementara pemilu daerah atau Pilkada 2024 akan digelar 27 November mendatang. Wacana pemisahan tahun pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah memang sudah bolak-balik diutarakan di ruang rapat DPR. Kendati begitu, pelaksanaan pemisahan waktu pemilu perlu dikaji secara ilmiah oleh pembentuk undang-undang agar tidak melahirkan persoalan baru.Peneliti dari Perludem, Usep Hasan Sadikin, memandang kajian keserentakan pelaksanaan pemilu bukan diskursus yang baru. Perludem bahkan pernah melayangkan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait konstitusionalitas keserentakan pemilu. Uji materi UU itu sudah diputus MK dalam putusan nomor 55/PUU-XVII/2019.“Idealnya pemisahan Ini tergantung pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokalnya seperti apa. Yang pasti ketentuan jadwal pemilu dan pilkada sekarang di UU pemilu dan UU pilkada sudah disimpulkan MK [dalam putusan JR Perludem],” ucap Usep kepada reporter Tirto, Kamis (21/11/2024).Saat itu, Perludem memohon agar MK menyatakan pemilu serentak yang konstitusional adalah pemilu serentak nasional, untuk memilih Presiden, DPR, dan DPD terlebih dahulu. Baru setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota, bersamaan dengan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Menurut Usep, waktu itu Perludem mengkaji bahwa waktu ideal jarak antara pemilu nasional dan pemilu lokal adalah dua tahun.MK memang menolak petitum Perludem, tetapi dalam pertimbangan hukumnya memberikan fondasi dan batasan yang sangat kuat terhadap sistem penyelenggaraan pemilu serentak ke depan. Dalam putusannya, MK merekomendasikan enam varian desain pelaksanaan pemilu serentak. Dalam enam varian itu, terdapat penegasan bahwa pemilihan umum serentak untuk memilih presiden, DPR, dan DPD adalah sebuah keniscayaan dan tetap harus dijaga.Usulan Perludem ada dalam salah satu desain yang direkomendasikan MK. Yakni, pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden. Lantas beberapa waktu setelahnya, dilaksanakan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota.Maka, MK sudah menegaskan bahwa pemilu yang konstitusional adalah pemilu yang secara serentak antara pencoblosan eksekutif dengan pemilihan legislatif. Konsepsi keserentakkan yang dimaksudkan oleh MK adalah pemilihan Presiden, DPR, dan DPD mesti dilaksanakan secara serentak satu waktu. Desain pemilu serentak untuk pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal/daerah, sudah direkomendasikan enam varian penyelenggaraan yang terdapat dalam putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019.Dengan begini, kata Usep, perdebatan terhadap apakah pemilu serentak perlu diubah lagi atau tidak, dapat beralih kepada pendalaman dan perdebatan soal model pemilu serentak yang sudah direkomendasikan MK. Pembentuk UU perlu mengkaji model pemilu serentak mana yang lebih memberikan penguatan terhadap kedaulatan rakyat, sistem presidensial, dan integritas demokrasi Indonesia ke depan.“Model yang dipilih harus berdasarkan yang direkomendasi MK, [maka] pertimbangan DPR dan pemerintah seharusnya adalah kajian ilmiah yang punya komparasi baik. Berdasarkan kajian sistem pemilu yang baik, bukan dari pengalaman parpol atau elite politik saja,” ucap Usep.Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, memandang sejauh ini wacana pemisahan waktu pemilu serentak menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal/daerah pada tahun yang berbeda, merupakan gagasan paling efektif. Wacana ini dinilai dapat mengatasi persoalan pemilu kita secara substansial dan teknikal.Jika dipisah, menurut Kholil, pelaksanaan yang paling ideal adalah pemilu nasional untuk memilih Presiden/Wapres serta DPR, DPD akan dilaksanakan di tahun pertama. Sedangkan pemilu daerah untuk memilih Gubernur/Wagub, Walikota/Wawalkot, Bupati/Wabup, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota dapat dilakukan di tahun ketiga. “Sehingga ada jeda waktu dua atau tiga tahun antara pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu daerah,” ujar Kholil kepada reporter Tirto.Pemisahan waktu pemilu dianggap dapat memperkuat kedaulatan politik masyarakat pemilih secara bermakna. Jika pemilih kecewa terhadap kinerja partai politik (parpol) setelah pemilu nasional selama dua atau tiga tahun eksekutif dan legislatif berjalan, maka pemilih dapat memberikan sanksi politik. Caranya dengan tidak lagi memilih calon dari parpol tersebut di pemilu daerah. Secara teoritis, rezim kekuasaan akan berubah drastis.Dengan demikian, parpol pemenang pemilu nasional akan berupaya maksimal untuk bekerja sebaik mungkin agar mendapatkan nilai positif dari masyarakat demi memenangi kontestasi pemilu daerah. Ruang koreksi politik ini bakal memberikan makna besar bagi setiap suara (vote) pemilih atau hak pilih rakyat.Kholil menilai, secara teknis pemisahan pemilu dapat mengurangi kerumitan pelaksanaan pemilu. Pemilu di Indonesia dikenal dengan pemilu paling rumit karena dilaksanakan secara bersama-sama sehingga melibatkan banyak sekali sumber daya manusia dan logistik.“Pemilu serentak nasional yang kita terapkan sekarang merupakan salah satu faktor dari banyaknya korban jiwa di tingkat KPPS. Jika pemilu dipisah, maka hal-hal seperti ini akan terurai, proses administrasi yang menjadi salah satu beban di pemilu serentak dapat didistribusikan,” ungkap Kholil.Di sisi lain, wacana pemisahan waktu pemilu nasional dan daerah/lokal menuntut KPU dan Bawaslu untuk melakukan efisiensi beban kerja yang lebih produktif dan efektif. Beban kerja penyelenggaraan model pemilu serentak nasional saat ini menumpuk di satu tahun saja. Setelah Pemilu 2024 berakhir, kata Kholil, penyelenggara pemilu praktis tidak lagi bekerja untuk kepentingan pemilu/pilkada. Terpisahnya pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal, praktis membuat penyelenggara pemilu bekerja penuh selama lima tahun menjabat. “Jadi dengan pemisahan pemilu, evaluasi keberadaan penyelenggara pemilu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak relevan lagi,” terang Kholil.Petugas KPPS mengeluarkan surat suara saa mengikuti simulasi penghitungan suara Pilkada di Buah Batu, Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/11/2024). KPU Kota Bandung menggelar simulasi penghitungan suara yang diikuti oleh petugas KPPS untuk memberikan gambaran teknis kepada petugas dalam pelaksanaan Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 November 2024. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/YUPerlu Dikaji MendalamSementara itu, Usep menilai tugas penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu juga perlu dikaji mendalam jika wacana pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal diwujudkan. KPU secara umum punya waktu lebih panjang secara manajerial untuk melakukan persiapan yang matang. Seperti melakukan penetapan daerah pemilihan, dan penetapan daftar pemilih tetap berdasarkan tahun pemilu.Sementara Bawaslu harus mempersiapkan pengawasan yang lebih partisipatif. Membentuk Peraturan Bawaslu yang juga merujuk pada Peraturan KPU sehingga terjadi keselarasan. Selain itu, Bawaslu perlu menguatkan pemilih agar bisa dapat turut serta mengawasi pemilu.“Parpol juga kecapekan di pemilu nasional karena mati-matian di DPR dan DPRD tapi harus mencalonkan cakada di tahun yang sama. Alhasil parpol jadi lebih banyak ikut bagaimana arahan elite nasional saja untuk Pilkada karena sudah habis tenaga,” ujar Usep.Di sisi lain, Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai pemisahan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal memang merupakan salah satu model yang konstitusional dan direkomendasikan MK. Maka, usulan ini bisa menjadi opsi untuk model penyelenggaraan pemilu serentak ke depan.Namun, kata Yance, usulan tersebut perlu dipikirkan matang-matang, khususnya ketika ada pemisahan pemilihan DPR dengan pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hal ini karena pemilu legislatif nasional dan legislatif daerah itu pesertanya sama, yaitu sama-sama parpol. Menurut Yance, jika dipisahkan maka partai politik akan punya dua kali pembiayaan untuk kampanye dan biaya pemenangan lainnya.Yance memandang secara teknis juga akan lebih berat beban penyelenggara pemilu karena harus mengurus secara serentak pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, dan DPRD dengan tingkatan masing-masing di 38 Provinsi dan 508 Kab/kota.“Jadi menurut saya pemisahan itu kurang tepat,” ucap Yance kepada reporter Tirto.Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menilai secara teknis, memang ada yang lebih memandang positif pemilu nasional dan pemilu daerah dilakukan secara bersamaan. Misal dengan alasan, pelaksanaan bersamaan membuat masyarakat tidak mengalami gesekan sosial yang lama seperti di Pilgub Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 silam.Namun menurut Musfi, jika melihat dari sudut pandang politik, pemilu nasional dan pemilu daerah yang dilakukan secara bersamaan justru dapat mengancam demokrasi. Terjadi pada Pemilu 2024 misalnya, Pilkada kali ini justru jamak diwarnai adu pengaruh elite nasional. Residu dari Pilpres 2024 menentukan paslon yang maju pilkada, khususnya di daerah yang strategis.“Ini kan sangat bermasalah. Karena ada politisi yang berseberangan dengan pemenang pilpres, dia sampai sulit mendapat tiket maju di pilkada,” ujar Musfi kepada reporter Tirto.Belum lagi soal koalisi pilkada yang dipaksakan mengikuti koalisi pilpres. Kentara sekali ada pemaksaan koalisi gemuk harus terbentuk di pilkada. Bahkan sampai ada embel-embel KIM [Koalisi Indonesia Maju] Plus yang menegaskan berpengaruhnya koalisi pilpres di pilkada 2024. Ini membuat banyak cakada bimbang memilih dukungan parpol karena merasa harus didukung oleh KIM.“Ke depannya kasus Pemilu 2024 harus menjadi perhatian bersama. Demi demokrasi yang lebih baik, pemilu nasional dan pemilu daerah sebaiknya jangan dilaksanakan dalam tahun yang sama,” terang Musfi.Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, mengaku komisinya masih mengkaji usulan pemilu daerah dan pemilu nasional terpisah atau dilakukan di tahun yang berbeda. Dia mengaku kasihan jika penyelenggara pemilu bekerja selama 28 bulan terus-menerus mempersiapkan pemilu nasional hingga pemilu daerah lantaran dilaksanakan pada tahun yang sama.“Apakah tadi konsepnya bisa saja menjadi per zonasi kita mulai, atau pilkada eksekutif dengan legislatif dibedakan, atau pilpres dengan pemilu dibedakan. Ini semua masih kajian,” kata Dede di Jakarta, Kamis.Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, juga mengungkap pemerintah akan mengevaluasi pelaksanaan pemilu serentak. Salah satu hal yang dievaluasi soal pemisahan pelaksanaan, agar Pilkada tidak dilaksanakan di tahun yang sama dengan pemilu nasional.Bima saat ini masih mengumpulkan banyak masukan dari berbagai pihak, baik partai politik maupun organisasi masyarakat sipil untuk mengevaluasi keserentakan pemilu. Menurutnya, pilkada dalam tahun yang sama dengan pemilu nasional memberatkan penyelenggara dan peserta pilkada dari partai politik.“Konsepnya adalah memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Nah, ini kami tangkap dan nanti kami akan diskusikan,” kata Bima Arya dalam Seminar bertajuk “Menata Ulang Desain Sistem Pemilu Indonesia” di Jakarta Pusat, Selasa (19/7/2024).