Dua orang auditor BPK diciduk KPK karena tertangkap tangan melakukan suap terkait audit laporan keuangan Kemendes. Sebenarnya, seberapa penting audit laporan keuangan tersebut bagi lembaga negara?
PinterPolitik.com
“Jangankan disclaimer, WDP aja enggak boleh. Itu uang rakyat yang kita pertanggungjawabkan. Saya mau ke depannya WTP itu jadi kebiasaan.”
[dropcap size=big]I[/dropcap]tulah peringatan Presiden Joko Widodo kepada semua lembaga dan kementerian negara, saat melakukan pembacaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016 yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Istana Bogor, Selasa (23/3) lalu. Penegasan ini, khususnya ia tekankan pada delapan kementerian dan lembaga yang menerima opini wajar dengan pengecualian (WDP) dan enam lainnya yang mendapatkan status tidak dapat memberikan pendapat (Disclaimer).
Sebelumnya, Ketua BPK RI Moermahadi Soerja Djanegara menyampaikan laporan hasil pemeriksaan BPK RI atas LKPP tahun 2016 dihadapan DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR, Jumat (19/5). Dalam laporannya, ia mengungkapkan pendapat BPK bahwa LKPP 2016 telah disajikan secara wajar untuk seluruh aspek material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
“Opini WTP atas LKPP 2016 ini merupakan yang pertama kali diperoleh pemerintah pusat, setelah 12 tahun menyampaikan pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN sejak 2004,” kata Moermahadi. Walau telah disajikan secara wajar atas seluruh aspek yang material, namun Moermahadi menyatakan pemerintah tetap perlu menindaklanjuti rekomendasi BPK atas temuan sistem pengendalian internal dan kepatuhan.
Namun kelegaan dan kebahagiaan pemerintah ini, dirusak dengan ditangkapnya dua auditor BPK dan dua pejabat di Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (26/5). Berdasarkan pengamatan KPK, diduga pejabat Kemendes PDTT melakukan pendekatan ke BPK, dengan menggunakan kode “perhatian” untuk WTP 2016.
Dalam konferensi pers yang digelar Sabtu (27/5), Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan kalau OTT KPK kali ini terkait opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diperoleh Kemendes PDTT. Di kesempatan ini, KPK juga menetapkan empat orang tersangka, yaitu pemberi suap, Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon tiga Kemendes Jarot Budi Prabowo. Sedangkan sebagai pihak penerima suap adalah auditor utama keuangan negara III BPK Rochmadi Saptogiri yang merupakan pejabat eselon satu dan auditor BPK Ali Sadli.
Penangkapan anggota BPK ini, sontak membuat masyarakat teringat kembali pada kasus pertikaian mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini meringkuk di tahanan, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dengan BPK. Saat itu, Ahok menuding banyak oknum BPK yang ‘bermain’ dengan laporannya untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan, video yang memperlihatkan Ahok memarahi BPK terkait masalah pembelian tanah RS Sumber Waras pun kembali viral.
Pada 2015 lalu, Ahok juga pernah menyoroti kinerja BPK dan mempertanyakan hasil audit lembaga tersebut. Salah satu yang ia pertanyakan kala itu adalah nilai WTP yang diraih Pemerintah Provinsi Banten, meski di daerah itu ada kasus korupsi. Sementara, BPK hanya memberikan predikat wajar dengan pengecualian (WDP) terhadap Pemprov DKI Jakarta. Padahal, saat itu dirinya sedang membereskan sistem lama yang tak terurus. “Jadi selama ini BPK auditnya tuh ngapain?” tanya Ahok, kala itu.
Mengejar WTP, Mengejar Penghargaan Miliaran
“Kami mengucapkan selamat kepada Pak Presiden, Wakil Presiden dan seluruh jajaran pemerintah pusat, serta mengapresiasi usaha keras yang selama ini ditempuh. Setelah 12 tahun, sejak 2004 untuk pertama kalinya pemerintah mendapat opini WTP.” ~ Ketua BPK, Selasa (23/5)
Sejak bergulirnya kebijakan audit BPK terhadap lembaga kerja pemerintahan pusat dan daerah pada 2005 silam, setiap lembaga kerja diharuskan memperbaiki laporan keuangannya. Hasil audit ini nantinya dipublikasikan sehingga semua pihak mengetahui, termasuk opini atau pendapat BPK yang menyertai penilaian laporan keuangan lembaga tersebut. Ada empat jenis opini yang diberikan dan lazim digunakan oleh penyedia jasa audit lainnya, selain BPK.
Pada LKPP 2016, terdapat 73 laporan keuangan kementerian negara dan lembaga (LKKL) yang mendapat opini WTP dan satu laporan keuangan bendahara umum negara (LKBUN), yang persentasenya mencapai 84 persen. “Perolehan opini WTP menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil meletakan tata kelola yang baik atau good governance, dari aspek akuntabilitas dan transparansi pelaksanaan APBN khususnya pertanggungjawaban uang negara,” kata Moermahadi, sebelumnya.
Di sisi lain, upaya pemerintah untuk mencapai audit BPK dengan opini sempurna ini ternyata menciptakan peluang kolusi, antara auditor dengan lembaga pemerintah. Ini terbukti dengan ditahannya dua auditor BPK dan dua pejabat tinggi Kemendes PDTT yang disinyalir tengah melakukan jual beli predikat WTP tersebut. “Ini adalah tamparan keras bagi BPK. Mitos bahwa selama ini ada jual beli predikat WTP di BPK seolah olah terpecahkan,” ungkap Deputi Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Apung Widadi, Minggu (28/5).
Selain untuk mengejar citra pengelolaan uang yang bertanggung jawab pada masyarakat, entitas pemerintahan juga mengejar penghargaan dari Kementerian Keuangan yang jumlahnya ternyata mencapai miliaran rupiah, apabila mencapai target WTP. Sehingga, menurut Kepala Pusdiklat BPK yang juga Sekjen Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Sektor Publik (IAI-KASP), Cris Kuntadi, adalah hal yang wajar jika ada yang berani memberikan “suap” ratusan juta rupiah kepada auditor BPK.Padahal, menurut Cris, pencapaian WTP sebenarnya sudah merupakan kewajiban pemerintah. Sehingga yang diberikan seharusnya bukan penghargaan, tapi hukuman bagi entitas pemerintahan yang tidak mendapatkan WTP. Penghargaan dan hukuman memang dapat dilakukan sebagai langkah awal, agar entitas pemerintah dapat memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Namun, pemerintah juga harus mengantisipasi efek negatif yang terjadi akibat penghargaan dan hukuman tersebut.
Mengenal Sistem Audit BPK
“Kasus ini pembelajaran buat BPK, kami punya sistem tapi kenapa bisa dilanggar? Sebagus apapun sistem kalau ada kolusi ya tidak bisa, baru kami ketahui kalau ada tangkap tangan.”
Moermahadi mengaku sebenarnya BPK telah memiliki sistem dalam menjaga kualitas pemeriksaan. Namun, ia mengakui kalau sistem itu belum dapat menghilangkan kolusi walau telah melakukan quality control dan quality Inssurance dalam tugasnya. Ia menjelaskan, proses pemberian opini dalam kementerian biasanya dilakukan tim yang terdiri anggota, ketua, sampai penanggung jawab. Proses yang dilakukan mulai dari hasil pemeriksaan hingga temuan pemeriksaan seperti apa.
“Dari temuan, apakah temuan mempengaruhi pada opini atas laporan keuangan suatu kementerian,” terang Moermahadi. Kriterianya yang ditentukan BPK dalam pemeriksaan, yaitu (1) apakah laporan keuangan sesuai standar akuntasi, (2) apakah ada kecukupan bukti, (3) apakah sesuai dengan sistem pengendalian internal dan (4) bagaimana ketaatan terhadap perundang-undangan.
“Dari temuan, tim melihat apakah itu berpengaruh terhadap secara materil terhadap laporan keuangan atau tidak. Kami biasanya memakai ‘materiality’ yang disusun tim sampai proses pembahasan di penanggungjawab,” jelasnya. Tapi dengan tertangkap tangannya dua auditor BPK, ia memilih menunggu sampai ada keputusan berkekuatan hukum di persidangan. “Nanti baru kami tahu kenapa hal ini terjadi. Kalau sekarang kami tidak tahu, kami tunggu dari penyidikan,” tuturnya.
Bagi Apung, penangkapan oleh KPK ini harus dijadikan momentum reformasi total BPK. Reformasi, lanjutnya, bisa dilakukan dalam dua hal. Pertama reformasi internal, dengan memperbaiki sistem integritas internal auditor. Kedua, rombak pimpinan BPK, jangan ada yang berasal dari partai politik.
Sebab BPK yang bersih sangat penting, karena lembaga auditor negara ini mengaudit kurang lebih Rp 3.000 triliun uang negara tiap tahun, baik Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Daerah (APBN dan APBD). “Ini adalah momentum untuk buka-bukaan borok di dalam BPK. Bagaimana kita akan bersih dari korupsi, kalau auditornya yang menentukan kerugian negara justru malah korupsi juga,” tutur Apung.
Mempertanyakan Lembaga Audit Negara
“Selang seminggu setelah BPK memberikan hasil audit kepada Presiden dengan predikat WTP, kemudian ada dua auditor utama BPK ditangkap KPK bersama dengan oknum dari Kemendes.”
Kejadian ini, menurut Apung, juga menjadi tamparan keras bagi pemerintahan Jokowi. Sejak awal, pemerintahan Jokowi seharusnya tidak terlalu membanggakan status WTP yang diberikan oleh BPK. Sebab, status WTP memang tidak menjamin pemerintahan bersih dalam tata kelola anggaran. Terbukti, lanjutnya, banyak kasus korupsi kepala daerah yang ditangani KPK, padahal predikat laporan keuangan daerahnya WTP.
“Istilahnya, ini ditunjukkan oleh KPK (ke Jokowi). WTP rasanya tidak layak dibanggakan,” sambung Apung yang mengaku sudah mendengar sejak lama adanya kabar bahwa status WTP yang diperjualbelikan oleh oknum di BPK. Kabar ini pun terbukti dari penangkapan oleh KPK. Suap itu diduga dilakukan oleh Sugito kepada Rochmadi dan timnya dengan total nilai komitmen Rp 240 juta untuk mendapatkan opini WTP terhadap anggaran Kemendes PDTT.
Sementara itu, berdasarkan pengakuan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Junho, kasus tertangkapnya auditor BPK yang melakukan jual beli predikat audit ini bukanlah yang pertama kali. “Dalam pantauan ICW sejak 2005 hingga 27 Mei 2017, sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/staf BPK,” katanya, Sabtu (27/5).
Keenam kasus itu melibatkan Komisi Pemilihan Umum, pemerintah Bekasi, pemerintah Tomohon, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, proyek E-KTP di Kementerian Dalam Negeri, dan terakhir Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Di luar kasus terbaru di Kementerian Desa, kata Emerson, nilai suap terkecil adalah Rp 80 juta per orang.
Sedangkan nilai suap yang terbesar Rp 1,6 miliar per orang. Dari 23 nama yang diduga terlibat, lima orang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Sebanyak 14 orang hanya dapat sanksi internal BPK, dan empat di antaranya masih dalam proses pemeriksaan KPK. “Empat belas orang yang tidak diproses hukum itu kasus KPU, karena mereka mengembalikan (uang suap ke KPK),” ungkapnya.
Seruan evaluasi internal juga disuarakan anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun. Ia meminta pimpinan BPK untuk melakukan evaluasi internal pasca OTT dua auditornya. Hal itu untuk menjaga kehormatan lembaga yang dipercaya sebagai auditor pemerintah itu. “Meminta pimpinan BPK segera melakukan evaluasi secara menyeluruh sekaligus mengingatkan seluruh pejabat dan pegawai di institusi auditor keuangan negara untuk menjaga muruah dan kehormatan lembaga,” katanya, Minggu (28/5).
Namun, ia mengapresiasi dukungan Ketua BPK kepada KPK. “Dukungan ini menjadi bukti bahwa secara kelembagaan BPK serius membangun sistem yang kredibel dan jauh dari korupsi. Saya memberikan apresiasi atas langkah-langkah Ketua BPK tersebut,” kata Misbakhun. Legislator Fraksi Golkar itu mengetahui upaya BPK dalam meningkatkan kualitas auditornya, yakni dengan pola pelatihan terpadu, serta dibangunnya sistem audit berbasis teknologi informasi.
Ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak menghukum BPK secara kelembagaan. Tertangkapnya dua auditor itu murni kelalaian oknum BPK dalam melaksanakan tugas. “Kejadian OTT terhadap oknum auditor BPK yang lalai dalam menjalankan tugas oleh KPK tidak bisa serta merta kemudian dijadikan sarana untuk menghukum BPK secara kelembagaan. Silahkan KPK bekerja menuntaskan kasus OTT tersebut sesuai dengan kewenangannya,” ujar Misbakhun.
Mewakili pemerintah, Menko Polhukam Wiranto menyesalkan kejadian ini dan meminta agar tidak kembali terulang kepada auditor BPK lainnya. “Pertama itu, kita sesalkan satu tugas yang sangat mulia diselewengkan. Kedua, kita serahkan pengusutan secara tuntas agar kepercayaan terhadap pemeriksaan ini bisa terus mendapatkan pertanggungjawaban sendiri,” tegasnya, Senin (29/5). Ia juga meminta agar pemeriksaan auditor dalam laporan keuangan kementerian/lembaga tidak disalahgunakankan.
(Berbagai sumber/R24)