Wiranto diduga terlibat namun bukan sebagai eksekutor, akan tetapi sebagai orang dibalik layar tragedi tersebut, hal itu dikarenakan posisinya pada masa itu sebagai Panglima ABRI, jadi mustahil dia tidak mengetahui pergerakan anak buahnya di Tragedi Mei 1998 dan Tragedi Timor Timur.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]J[/dropcap]anji politik Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait Nawacita penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu mendapat kritikan dari aktivis. Sasaran utamanya adalah Wiranto, Presiden Jokowi kerap kali diminta mencopot menteri yang dianggap “bermasalah”.
Menurut aktivis HAM, Usman Hamid, keberadaan Wiranto akan membuat Presiden Jokowi sulit untuk merealisasikan permasalahan masa lalu HAM jika menterinya sendiri justru terindikasi permasalahan HAM. Wiranto terduga bersalah di Tragedi Mei 1998 dan pelanggaran HAM di Timor Timur. Jokowi tidak akan bisa menuntaskan kasus tersebut karena pihak yang diduga terlibat yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, justru membidangi masalah itu.
Menurut Usman, ada dua sosok yang dianggap pantas dipertimbangkan yakni Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, atau Duta Besar Indonesia untuk Inggris, Rizal Sukma.
“Saya kira sosok seperti Agus Widjojo, Gubernur Lemhanas, itu orang yang memang mengerti dunia pertahanan, berlatar belakang militer dan memiliki kecerdasan intelektual cukup tinggi di sektor pertahanan, HAM,” kata Usman.
Apakah Wiranto Pelanggar HAM?
Terkait dengan Wiranto yang diduga menjadi dalang di aksi Mei 1998, pada tahun 2014 Hamid dan banyak akademis lainnya seperti Jemma Purdey melihat paling tidak Wiranto yang saat itu adalah seorang Panglima TNI pasti secara otomatis mengetahui pergerakan pasukannya pada Mei 1998. Meski telah mengaku turut serta dalam kasus tersebut, namun Wiranto mengatakan Ia bukanlah dalang atas hilangnya sejumlah mahasiswa dan aktivis serta kerusuhan Trisakti.“Sebagai Panglima ABRI secara otomatis saya terlibat. Kalau saya mendalangi pasti negeri ini sudah hancur-hancuran. Kalau penembakan dilakukan atas perintah Panglima maka korban bisa mencapai ratusan” kata Wiranto di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran (FORUM KPK) Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2014).
Mayor Jendral (Mayjen) Kivlan Zein pun menceritakan dalam bukunya yang berjudul “Konflik dan Integrasi TNI-AD”. Kivlan menilai seharusnya Jenderal Wiranto tak perlu meninggalkan Jakarta pada Mei 1998. Terlebih kepergiannya hanya untuk menjadi Inspektur Upacara dalam rangka serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Malang pada hari Kamis tanggal 14 Mei 1998. Padahal saat itu Jakarta sudah genting, dan pembakaran disertai kerusuhan sudah terjadi di mana-mana.
Mantan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo pun menegaskan bahwa Prabowo Subianto bukanlah pelanggar HAM sebenarnya, karena ia hanya menjalankan perintah atasannya. Suryo Prabowo menambahkan, dalam surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) mengenai pemecatan Prabowo tidak menunjukkan adanya pelanggaran HAM. Bahkan, setelah Tim Pencari Fakta melakukan investigasi, mereka tidak bukti keterkaitan Prabowo dalam kasus 1998.
Pernyataan Wiranto yang menuding Prabowo adalah pihak yang bersalah pun seakan bertentangan dengan kebenaran dan perkataan serta usulan Wiranto sendiri. Menurut pengacara yang merupakan salah satu pendiri partai Hanura, Elza Syarief mengungkapkan bahwa Wiranto pernah menyatakan bahwa Prabowo tidak terlibat
“Saya prihatin dan sangat menjaga Bapak Wiranto sebagai Bapak Partai Hanura jangan sampai ditekan oleh Koalisi untuk menyampaikan sesuatu yang tidak benar,” kata Elza.
Terkait dengan Wiranto dengan jabatannya sebagai Panglima ABRI dan lebih memilih menjadi inspektur upacara dari pada mengamankan ibukota yang sedang ricuh. Selain itu, Wiranto pun digadang-gadang juga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Timur.
Kasus pelanggaran HAM di Timor Timur diduga dilakukan secara sistematis, meluas, dan terencana yang meliputi: pembunuhan massal, penyiksaan, dan penganiayaan. Selain itu bentuk kejahatan HAM lainnya di Timor Timur adalah, pemindahan dan pengungsian paksa, perbudakan dan pemerkosaan, pembumihangusan, serta pengerusakan dan penghilangan barang bukti. Kesemuanya dilakukan secara langsung, baik oleh milisi, aparat kepolisian, maupun militer.Wiranto diduga terlibat namun bukan sebagai eksekutor, akan tetapi sebagai orang dibalik layar tragedi tersebut, hal dikarenakan posisinya saat itu sebagai Panglima ABRI, jadi mustahil dia tidak mengetahui pergerakan anak buahnya di Tragedi Mei 1998 dan Tragedi Timor Timur.
LSM Amnesty International mencatat, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, Wiranto mengetahui adanya pelanggaran HAM yang “meluas dan terorganisir” di seputar referendum Timor-Timur pada 1999. Pada 2004, Pengadilan Timor Leste mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wiranto atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan pada 1999.
Pada Feburari 2003, PBB dibawah Serious Crimes Unit (SCU) pun mendakwa Wiranto, harus bertanggung jawab secara komando atas pembunuhan, deportasi, dan penganiayaan dalam konteks serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil di Timor Timur.
Walaupun kerap disinggung sebagai penjahat HAM, Wiranto sendiri menolak asumsi bahwa dirinya merencanakan kejahatan kemanusian.
“Saya berani bersumpah di hadapan seluruh rakyat Indonesia bahwa saya selaku Menhankam/Pangab sewaktu proses jajak pendapat di Timor Timur itu berlangsung tidak pernah terpikir merencanakan. Apalagi, memerintahkan untuk melakukan berbagai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, penculikan dan pengusiran atau langkah-langkah lain yang dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan,”.
Akan tetapi saat ini sangat sulit untuk menjerat Wiranto, bahkan PBB sekalipun. Walaupun Wiranto sebagai Panglima ABRI saat itu dinilai gagal mempertanggungjawabkan posisinya sebagai komandan tertinggi dari semua kekuatan tentara dan polisi untuk mencegah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan pada Tragedi Mei 1998 dan Tragedi Timor Timur.
Dari sisi Wiranto, ia melempar bola panas tersebut ke Prabowo Subianto, di mana yang berinisiatif melakukan penculikan aktivis pada 1998 adalah arahan Prabowo selaku Pangkostrad saat itu. Wiranto mengklaim, saat kejadian itu, dia selaku Panglima ABRI telah melakukan pencegahan dan menginstruksikan untuk mengusut siapa pun, baik dari sipil maupun militer yang terlibat kerusuhan Mei 1998.
Pernyataan Wiranto dibantah oleh puluhan mantan Kopassus yang bersaksi pada saat Pilpres 2014 lalu. Perwakilan mantan Kopassus, Kolonel (Purn) TNI Ruby menegaskan bahwa mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn) Wiranto merupakan pihak yang paling bertanggung jawab pada peristiwa Mei 1998.
“Beliau memerintahkan untuk membumi hanguskan Jakarta dan Timor Timur. Kami adalah saksi hidup,” ungkap dia.
Mampukan Jokowi Menyelesaikan Masalah HAM?
Hampir 3 tahun Jokowi – JK memimpin Indonesia, namun janjinya untuk mengungkap permasalahan HAM di Indonesia belum juga terlaksana. Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia, Usman Hamid, mengatakan di dalam pemerintahan era Joko Widodo sekarang masih ada beberapa orang yang terlibat kasus Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain itu, Direktur Imparsial, Al Araf menilai lingkaran-lingkaran politik di sekitar Jokowi tampaknya mengunci dan menimbulkan persoalan bagi pemerintahan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Salah satu contoh yang disebutkannya adalah penyelesaian kasus kematian aktivis HAM, Munir.
Imparsial sendiri ada LSM yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Kasus pelanggaran HAM masa lalu lain yang menurut Imparsial masih belum tuntas dalam dua tahun pemerintahan Jokowi-JK adalah kasus tragedi 1965, Talangsari, kekerasan pasca jajak pendapat di Timor Leste, kasus 27 Juli, kasus Tanjung Priok, penculikan aktivis 1997/1998, kasus Semanggi I/II dan kasus Trisakti.
Dengan pencitraannya yang disukai rakyat Indonesia, Jokowi pun harus berani bertindak untuk membuka tabir misteri kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Hal tersebut sekaligus untuk membuktikan bahwa Jokowi memang benar-benar layak disebut pemimpin Indonesia. Masih ada waktu sebelum 2019, Jokowi harus berani bersuara. Mampukah ia melakukannya? (A15)